Sabtu, 24 Maret 2012

Second Sun


Don’t want to be Mercury,
not even Neptune
around, or too far
living from my Sun

I am the Mercury,
burning down to flames
I am the Neptune,
farthest, but can’t separate
Although I am burning :
loose from this gravity

Separate and look for
my second Sun,
Sun who make me into Earth, completely

Perfect?



Watak itu tidak terbentuk dalam waktu sekejap, tapi melalui pengulangan dalam kebiasaan.  I was an acute perfectionist. Aku hanya mengenal dua tempat di dunia: puncak dan palung. Aku hanya tahu dua kata : best and worst. Aku begitu peduli dengan yang orang lain katakan tentang aku. Ingin selalu terlihat sempurna. Bagaimana ini bermula, aku sendiri tidak tahu. Aku berusaha meraih diriku di masa lalu dan berhasil menemukan satu hari yang kutakuti...

Aku benci lorong kelas. Aku benci berdiri di sana dan mendapati diriku seorang diri, dihukum karena lupa bawa ikat pinggang.  Itu adalah untuk pertama kalinya aku “melanggar aturan”. Saat itu saya hanya anak-anak Pak.. dan Anda mengajarkan kepada saya tentang sesuatu yang Anda sebut--kedisiplinan.  Apa Anda tahu, pola pikir itu menjadi sesuatu yang menjadi bagian dari diri saya untuk sekian lama? Saya selalu mengerjakan tugas saya. Saya selalu memasukkan seragam saya, saya tidak pernah lupa memakai ikat pinggang, kuku saya selalu pendek, hitam putih menjadi warna favorit sepatu dan kaos kaki saya.  Sampai suatu hari... Saya demam tinggi, masuk UKS, dan tidak mengikuti pelajaran hanya karena  saya lupa membawa LKS.  Saya merasa sangat tertekan. Dan ketika saya tumbuh saya kian menyadari bahwa demam tinggi, sakit kepala dan kekacauan pada diri saya saat itu... bukan tentang LKS. Masalah yang sebenarnya adalah saya tidak bisa menerima kekurangan saya. Saya takut berbuat salah. Karena ketika ada yang kurang dari diri saya, Anda meninggalkan saya. Dan entah bagaimana, saya tidak bisa menerima saya ini manusia.
Hari ini adalah 12 tahun sejak saat itu. Aku tidak akan jadi sesehat ini, kalau aku tidak belajar untuk memaafkan ketidaksempurnaanku. Aku belajar ‘ndableg’—aku lebih suka menyebutnya dengan ‘mempertahankan prinsip’ #hehehe, belajar menulikan telingaku dari perkataan yang merendahkan dan tidak lagi menyibukkan pikiran dengan mereka yang diciptakan untuk menguji kesabaran orang lain. ^_^v
Hidupku dipenuhi dengan keajaiban. Bagaimana aku menjalaninya, cukup aku dan Tuhan yang tahu. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, selama aku mengupayakan kebaikan. Aku butuh lebih banyak senyum dan tawa dari orang-orang yang ada di sekitarku. :)

Shareaholic